Bagi orang Manggarai Kelas atau Paka Di'a dianggap sebagai hal terakhir manusia selama berziarah di muka bumi (sakil naki ruda raja atau wono kong kira di'a) sebelum akhirnya menghadap Tuhan (Jari agu Dedek).
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Berbicara tentang ritus adat orang Manggarai tentu saja tidak terlepas dari keterlibatan dari para pihak baik penyelenggara acara maupun para pihak yang ikut berpartisipasi dalam acara tersebut.
Satu pertanyaan penting apakah diperbolehkan sebuah acara dilakukan tanpa adanya kehadiran dan keterlibatan dari pihak lain?
Jawabannya tentu saja tidak, hal tersebut terjadi lantaran ritus adat orang Manggarai bersifat komunal yakni penyelenggaraan suatu acara harus melibatkan pihak lain entah sebagai orang yang memberi restu maupun sebagai saksi mata.
Ambil contoh dalam ritus yang paling umum misalnya ritus teing hang wura agu ceki, para pihak yang menyelenggarakan ritus tersebut akan mengundang orang lain di luar mereka.
Sebut saja anak wina (pihak penerima istri) yang akan ikut dalam memberi restu sebuah ritus adak, termasuk para tua adat dan orang-orang dalam suatu kampung (paang olo ngaung musi).
Kehadiran mereka akan menjadi saksi bahwa keluarga tersebut telah menyelenggarakan suatu acara yakni teing hang wura ceki.
Akan tetapi dalam ritus adak yang lebih besar seperti paka di'a atau kelas, tentu saja akan melibatkan orang-orang yang lebih banyak dan keluarga yang lebih besar.
Kelas Sebagai Sakil Nangki Ruda Raja atau Wono Kong Kira Di'a
Ritus Kelas atau Paka Dia sendiri merupakan suatu ritus penetup dalam setiap urusan (raja) dalam setiap pribadi orang Manggarai.
Ritus ini juga bisa diartikan sebagai tindakan mengantarkan jiwa dari orang yang meninggal dunia ke alam roh (Paang be le) untuk bersatu dengan Tuhan sebagai pencipta (Jari agu dedek), bersatu juga dengan roh dari orang tua orang yang meninggal (lonto pedek kamping ende ema), dan segenap para leluhur (wura agu ceki).
Ritus ini juga bisa diartikan sebagai bentuk berakhirnya segala urusan yang bersangkutan selama di muka bumi. Makanya goet atau bahasa yang digunakan dalam konteks kelas atau paka dia adalah Sakil nangki, ruda raja atau wono kong kira di'a.
Sakil nangki berarti yang bersangkutan tidak lagi memiliki urusan dengan keluarganya yang masih hidup di bumi. Segala hal yang berkaitan dengan almarhum telah diselesaikan demi pembebasan jiwa yang bersangkutan menuju alam roh.
Orang Manggarai mempercayai jika sanksi dari para leluhur yang juga disebut nangki itu sangat fatal dan tak memiliki obat.
Karenanya Sakil Nangki bermakna tak ada lagi hal yang memicu adanya sanksi dari para leluhur dalam urusan dengan roh atau jiwa dari orang yang dikelas.
Sementara Ruda Raja berarti urusan-urusan yang berkaitan dengan almarhum selama masih hidup di muka bumi telah dilakukan seluruhnya dan dianggap beres.
Sejak lahir hingga wafat kembali orang Manggarai memiliki urusan (Raja) baik dengan Tuhan, sesama maupun dengan para leluhur.
Sedikitnya terdapat tiga hal atau raja terbesar dalam diri orang Manggarai sejak ia dilahirkan kedunia ini hingga ia wafat yakni Cear Cumpe, yakni ritus adat ketika jabang bayi baru beberapa hari dilahirkan, ritus Laki atau Wai yakni ritus adat ketika ia tumbuh dewasa dan berumah tangga serta ritus kelas yang merupakan raja terakhir dalam diri.
Ketiga raja ini wajib dilaksanakan selama seseorang masih berziara di muka bumi, jika seseorang tak ingin berumah tangga maka dua raja utama yang wajib dilakukan itu yakni Cear Cumpe dan Kelas.
Lalu pertanyaanya apa dampak atau implikasi jika seseorang tidak melakukan salah satu raja yang disebutkan?
Ambil contoh jika raja terakhir yang bernama Kelas tak dilaksanakan oleh keluarga, maka akan ada mala petaka yang menimpa orang-orang yang masih hidup terutama keluarga dekat dari orang yang meninggal itu.
Malapetaka itu bisa berupa sakit dan penyakit yang tak pernah sembuh, atau ditimpa kecelakaan atau sulit mencari rejeki dalam hidup.
Malapetaka itu yang disebut dengan Naki alias Nangki, oleh karena itu kekas dianggap sebagai bentuk Sakil Nangki, Ruda Raja.
Artinya tak ada lagi Nangki atau Raja yang berurusan dengan orang itu dan semuanya dianggap tuntas dan beres.
Karena itu pelaksanaanya dianggap sangat penting dan tak boleh diabaikan begitu saja apalagi jika tak mengambil bagian sama sekali itu akan berdampak fatal.
Ritus Kelas sebagai Hajatan untuk Orang Mati
Untuk ritus kelas biasanya para pihak yang berstatus anak wina dan anak rona akan diundang seluruhnya.
Dalam hal melakukan penerimaan orang-orang ini tentu saja diperluhkan sebuah panitia khusus yang akan dibentuk oleh para pihak yang menyelenggarakan acara kelas dimaksud.
Orang-orang ini disebut "weki" biasanya terdiri dari "ase ka'e" yang akan menjadi penyelenggara utama acara kelas dimaksud.
"Weki" akan bertugas untuk mengundang para pihak seperti anak wina dan anak rona dalam go'et "sida" atau "bantang".
Ketika hendak melakukan sida, tentu saja akan diberitahu besaran angka sida termasuk tanggal penyelenggaran acara alias leso remong agu rapak reke.
Biasanya anak wina akan dibebani uang dengan besaran yang sesuai dengan anggaran acara kelas yang telah disepakati oleh weki secara bersama-sama.
Sementara mereka yang berstatus anak rona akan diberi tugas membawa materi berupa beras, rokok dan tuak termasuk hewan berupa babi.
Sebagai contoh: Jika seorang Ibu bernama Ende Moni akan dilaksanakan upacara kelas maka anak bara wua tuka (anak kandung) yang laki-laki akan bertindak sebagai penyelenggara acara, dia akan mengundang ase ka'e wa'u nya untuk pembentukan panitia kelas untuk ibunya Ende Moni ase ka'e yang dia undang disebut "Weki".
Weki ini akan mengundang anak rona dan anak wina dari Ende Moni termasuk anak bara wua tuka yang perempuan.
Para pihak yang berstatus anak rona ulu alias anak rona sa'i (saudara kandung dari Ende Moni) akan dibebani tanggung jawab menyediakan babi satu ekor, beras satu potong, tuak dan rokok.
Biasanya hal tersebut akan diberitahu ketika mereka diundang ke acara itu lazimnya akan diutarakan go'et seperti berikut.
"Iyo............ ite ende ema, sapo mese likang lakas beo (sebut nama suku dari anak rona) nia weli tara ndong botol sau manuk kamping ite, one mai leso hoo, ai weta dite ende dami (sebut nama orang yang akan dikelas) danong gi lakon, olo gi ngon, somong le hitu ai kudu nuk latang te sakil nangki ruda rajan latang te hia, ngong ite weeng ite le tanggal cepulu siok wulang alo, go'et agu reweng kamping ite ela peang tana, dea potong, tuak loran, agu mbako genda, landing toe muun kanang tombon kamping ite lami kepok"
Setelah mendengar ucapan tersebut, maka para pihak yang berstatus anak rona ulu akan menjawab seperti berikut ini.
"Iyo......itu ite kraeng anak, somong le mesen nuk agu tenang dite latang te hia, kudu ngasang sakil tuugi nangki ruda tuung gi rajan weta dami ende de meu (Sebut namanya) one mai reweng agu goet dite, ela peang tana, dea potong, tuak loran, mbako genda weeng le tanggal cepulu siok wulang alo hitu, alimpo lamin kraeng anak, ata dami muing morin, jadi ngong ite cama-cama ngaji kudu kawe haeng agu ndepa mena one mai reweng agu goet dite, jadi terima kasih anak"
Artinya anak rona ulu akan merestui hari dan tanggal pelaksanaan upacara tersebut dan mereka akan membawa babi satu ekor, beras satu potong tuak dan rokok pada hari pelaksanaan upacara kelas untuk Ende Moni.
Begitu pula untuk anak wina misalnya ketika mengundang saudari kandung dari penyelenggara upacara kelas tersebut maka dia akan melakukan sida alias bantang kelas.
"Iyo.........itu ite weta nenggitu kole kesa, kraeng (sebut nama suku dari kesa) damang weli woko olo gi ngon danong gi lakon ende dite(sebut nama yang akan kelas), kole mbaru koen hia wee mbaru mesen. Comong le hitu ai kudu hoogi keta de ngasang sakil nangki ruda rajan hia ngong meu weta nggitu kole kesa, le tanggal cepulu siok wulang alo weeng meu reweng agu go'et kamping meu, mbe peang tana, ringgi juta wa dulang sua setengah saungn, toe muu kanang tombon kamping meu kepok botol"
Goet atau kata-kata tersebut bermakna undangan bagi anak wina untuk berpartisipasi secara penuh dalam upacara pesta kenduri alias kelas dari almarhum ibunya.
Dalam goet tersebut anak perempuan yang berstatus anak wina (anak bara wua tuka) akan dikenakan uang sebesar 2,5 juta (Ringgi juta wa dulang sua setengah saung) dan kambing satu ekor (mbe peang tana).
Lazimnya selain kambing mereka yang berstatus anak wina akan membawa serta satu ekor ayam dalam upacara tersebut.
Ayam dan kambing itu nantinya akan disajikan secara khusus bagi mereka yang berstatus anak rona termasuk anak rona ulu.
Sementara babi dan beras yang dibawah oleh anak rona akan diberikan kepada anak wina dalam ritus nokong (oleh-oleh) yang akan dibawah pulang ke rumah mereka masing-masing.
Ketika acara tudak alias ker maka babi yang disediakan oleh anak rona akan diikat bersamaan dengan kambing dan ayam satu ekor yang dibawah oleh anak wina.
Dalam ritus tudak tersebut akan disaksikan oleh semua pihak yang terlibat baik sanggen weki, paang olo ngaung musi, termasuk anak wina dan anak rona.
Untuk jenis hewan yang dipersembahkan terdiri dari dua jenis yakni untuk kelas besar seperti paki Kaba (Kerbau) maka hewan yang akan dipersembahkan itu berupa satu ekor kerbau, satu ekor babi, kambing dan ayam jantan.
Istilah yang akan digunakan juga berbeda yakni wono kong kira di'a anggaran yang dihabiskan juga lebih besar dari kelas biasa.
Sementara untuk kelas biasa hanya berupa babi, kambing dan ayam jantan, dengan menghabiskan anggaran yang lebih sedikit sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak penyelenggara upacara.
Goet atau istilah yang digunakan dalam ritus tersebut juga berbeda yakni sakil nangki ruda raja.
Setelah makan bersama biasanya para pihak penyelenggara upacara akan menyelenggarakan acara pengumpulan alias pa'u atau pa'u raghi bagi anak wina.
Upacara ini bertujuan untuk mengumpulkan semua dana yang dibebankan kepada seluruh anak wina dalam upacara tersebut.
Biasanya juru bicara atau tongka dalam upacara tersebut akan memulai acara pa'u dengan sebotol tuak.
"Iyo.........itu meu sekang agu uma, wing agu dading de (Sebut nama orang yang dikelas) ai damang weli leso one meseng gula one sua manga anak cepagat dading ca siku ede ulu le para sili lambu mbaru, ai damang weli danong du lakon, olo du ngon hia, watu ca mongko, tana ca dako cama-cama tite, nggitu kole one mai rokot kupul boak lemangn hia hoo taung tite, woko hoo ketagi leso remongn rapak reken te sakil nangki ruda raja kelas latang te hia, jadi ngong meu neka keta naa one mambak, legong one leko reweng agu go'et dami kamping meu, kudut cama cama tite keng kamping mori mese, ngaji kamping mori jari one mai podo kudu lonto mberekn hia le ranga de mori ngaran nggitu kole enden agu eman wura agu ceki, toe keta muu kanang tombon kamping meu lami kepok"
Goet alias ucapan ini bermakna permintaan bagi para anak wina untuk menyerahkan uang yang sudah ditetapkan kepada meraka dalam upacara kelas tersebut, sebagai bentuk keterlibatan mereka dalam ritus tersebut.
Biasanya penyelenggaraan ritus Pa'u akan diawali dari mereka yang berstatus anak wina inang, lalu diikuti oleh anak wina adik dari orang yang akan dikelas lalu disusul dengan anak perempuan (wing agu dading).
Setelah ritus Pa'u maka acara akan dilanjutkan dengan Torok Kaba/ Ela yang telah disediakan di depan halaman rumah atau Soa.
Kerbau atau babi, kambing dan ayam jantan akan diikat di depan halaman rumah tersebut lalu tongka dan semua orang akan duduk menghadap hewan kurban tersebut.
Lalu ritus torok kaba atau torok ela akan dimulai dengan kata Denge lite (Sebut nama orang yang akan dikelas).
Dalam hal ini ketika berhadapan dengan wura agu ceki penggunaan kata "Denge" Dengarkan hai (sebut nama orang yang sudah meninggal) itu menandakan bahwa orang yang diajak berbicara merupakan wura agu ceki alias sudah meninggal dunia (toe ata raja).
Sementara ketika berbicara dengan sesama orang yang hadir dalam upacara itu digunakan kata "Iyo...." hal ini menandakan bahwa orang yang diajak berbicara merupakan "ata raja" orang yang masih hidup.
Setelah ritus torok itu usai maka Kerbau atau kambing dan ayam akan disembelih oleh anak rona ulu dan anak rona dari ayah mereka, sementara babi akan disembelih oleh anak wina yang berstatus salang cuker alias salan sikor dalam wa'u tersebut.
Di wilayah Manus dan di beberapa wilayah di Manggarai Babi yang disembelih usai ditorok akan diberikan kepada anak wina ditambah dengan beras yang dibawah oleh anak rona.
Biasanya daging dan beras itu akan dimasukkan kedalam wadah karung kecil dan dibawa pulang ke rumah khusus untuk mereka yang berstatus anak wina dalam upacara itu.
Hal ini disebut dengan istilah "Nokong Kelas" alias "Wali Kelas" jadi anak wina yang tadinya menyetorkan sejumlah uang dalam ritus Pa'u akan memperoleh beras dan daging babi untuk dibawa pulang.
Sementara daging kambing atau ayam yang disembelih akan disajikan kepada anak rona. Pertanyaannya kemana uang yang telah dikumpulkan dari anak wina?
Jawabannya adalah uang tersebut akan diberikan kepada anak rona dalam upacara atau ritus beling anak rona.
Tadinya ketika datang mereka yang berstatus anak rona membawa serta hewan Babi satu ekor, beras satu potong dan tuak rokok, ketika hendak pulang ke rumah mereka akan membawa uang dari anak wina.
Ritus beling tersebut merupakan prosesi pemberian uang dari penyelenggara upacara kepada anak rona biasanya besaran beling akan dihitung berdasarkan harga bahan yang mereka bawa di pasaran.
Untuk anak rona ulu, harga babi akan dihitung berdasarkan besar kecilnya babi yang mereka bawa, begitu pula untuk beras rokok dan tuak.
Dalam ritus ini kerja sama antara anak wina dan anak rona itu sangat menentukan kesuksesan suatu acara.
Kelas atau paka Dia merupakan ritus adat yang sangat sakral dalam budaya Manggarai karenanya ada imbas atau akibat jika seseorang tidak menghadiri ritus ini.
Pasalnya kelas merupakan raja terakhir dalam diri setiap orang Manggarai, ketika ada orang yang sama sekali tak menghadiri ritus tersebut meski sudah diundang maka orang itu akan diberi sanksi sosial.
Adapun sanksi sosialnya berupa kerenggangan atau retaknya hubungan kekeluargaan antara kedua bela pihak sampai pada nangki alias sanksi dari para leluhur.
Penulis merupakan pemerhati budaya Manggarai tulisan-tulisannya kerap menyentuh akar permasalahan adat dan budaya Manggarai dan kerap dijadikan rujukan.