- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menakar Sisi Hukum Calon Bupati Manggarai Barat

    congkasae.com | Editor: Antonius Rahu
    22 Agustus, 2020, 22:05 WIB Last Updated 2020-08-22T15:05:47Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     

    ***Oleh Alvitus Minggu***


    Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016 merupakan rujukan hukum bersifat absolut. 


    Undang-Undang ini sebagai landasan hukum untuk mengatur kegiatan pelaksanaan pemilukada baik calon Gubernur , Bupati dan Walikota secara serentak seluruh Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2016. 


    Konsekuensinya pihak institusi penyelenggara pemilukada seperti KPU, Bawaslu, hingga tingkat  paling bawah serta para calon kepala daerah diharapkan dapat mentaati/mematuhi Undang-Undang (UU) ini secara konsekuen. 


    Dapat dipahami bahwa UU pilkada bukan norma hukum yang bersifat abstrak namun bersifat spesialis. Artinya tidak digunakan untuk kepentingan lain tetapi digunakan untuk kepentingan pilkada. 


    Oleh karena itu, penafsiran tentang UU pilkada khususnya pasal yang mengatur persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah tidak bisa ditafsir secara spekulatif supaya tidak menimbulkan multi tafsir.  


    Bertolak dari hal tersebut, pasal 7 ayat 2 huruf I dan huruf g sebagaimana termaktub dalam UU pilkada merupakan pasal yang sangat krusial, sebagai parameter untuk mengukur keabsahan dan kepastian hukum bagi para calon kepala daerah yang maju dalam pemilihan kepala daerah. 


    Apakah yang bersangkutan tercatat sebagai mantan terpidana atau tidak. Pasal 7 ayat 2 huruf I dalam UU Pilkada selengkapnya menjelaskan perbuatan itu melarang seseorang dengan melakukan perbuatan tercela  mencalonkan diri sebagai kepala daerah. 


    Perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar Narkoba dan berzina.


    Selanjutnya pandangan Mahkama Konstitusi (MK) tentang aturan mengenai pemakai narkoba termasuk perjudian dalam Undang-Undang Pilkada sesuai dengan bunyi konstitusi.


    Sehingga frasa pemakai narkotika dan kasus perjudian dalam penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf I UU Pilkada adalah Konstituisonal. 


    pasal 7 ayat 2 huruf g yang berbunyi tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. 


    Selanjutnya kata ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan kesimpulan putusan di gedung MK Jakarta, Rabu 11 Desember 2019 seperti ditulis media CNN bahwasanya eks napi ikut pilkada mesti memenuhi empat syarat. 


    Salah satunya eks napi diberi jeda lima tahun sejak masa hukumannya usai, untuk mencalonkan diri pilkada. Pertimbangan tersebut waktu untuk adaptasi disesuaikan dengan satu kali periode pemilihan umum. 


    Kemudian  UU yang mengatur soal perjudian adalah UU No.7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian. Pasal 1 UU ini menegaskan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. 


    Peratuan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum Gubernur, dan Wagub, Bupati dan wakil Bupati, dan atau Wali Kota khususnya Bab I pasal 2 poin yang ke (2) bahwa penyelenggaraan pemilihan umum serentak berpedoman pada kepastian hukum. 


    Hal tersebut merupakan sebagai langkah strategis untuk memproteksi keseluruh proses pelaksanaan pilkada untuk menolak calon kepala daerah yang semberono. 


    Menolak calon kepala daerah yang tidak memenuhi kualifikasi hukum pilkada maupun dalam peraturan lain yang mempunyai korelasi dengan kegiatan pilkada.   


    UU pemilukada maupun sejenisnya pada hekakatnya merupakan istrumen hukum yang mewakili kekuasaan negara. Di dalammnya ada parlemen dan eksekutif selaku pembuat Undang-Undang. 


    Keduanya sama-sama kuat dan mempunyai kewenangan yang sama untuk membuat UU serta tidak saling menjatuhkan. 


    Parlemen tidak bisa membubarkan eksekutif dan eksekutif tidak bisa membuabarkan parlemen merupakan saling keterkaitan satu sama lain yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 


    Oleh karena itu apapun bentuk regulasi yang dilahirkan oleh negara bersifat final dan mengikat bagi semua warga negara. 


    Keseluruhan tulisan ini, UU Pilkada, maupun peraturan lain sebagai pisau analisis untuk menjelaskan kedudukan hukum EE bakal calon Bupati Mabar yang selama ini kehadirannya menuai pro dan kontra yang muncul di tengah masyarakat Mabar. 


    Sebagaimana diketahui masyarakat bahwa yang bersangkutan tercatat sebagai mantan terpidana kasus perjudian tahun 2016 lalu. Seolah-olah EE terbebas dari jeratan hukum sehingga cenderung mengabaikan hal tersebut. 


    Hal ini menunjukkan bahwa EE secara leluasa mensosialisasikan diri dari kampung ke kampung tanpa merasa bebaban apapun. 


    Kegiatan tersebut sudah masuk dalam kategori melanggar UU pilkada maupun hukum-hukum lain yang telah tertuang dalam tulisan ini.  


    Hal tersebut merupakan perbuatan tidak terpuji serta perbuatan telah melawan hukum atau negara yang dapat mengganggu terhadap sistem hukum Indonesia. 


    Perbuatan tidak terpuji mengindikasikan bahwa EE telah merendahkan martabat hukum dan merendahkan martabat parlemen dan ekseskutif selaku lembaga yang membuat UU.


    Bahkan telah merendahkan martabat Presiden Jokowi yang ikut menyetujui dan menandatangani UU pilkada sebelum UU ini diberlakukan. 


    Semestinya sebagai pejabat pubulik EE berada dalam garda terdepan dalam mendukung dan mentaati setiap langkah UU pilkada.  


    Kondisi demikian menunjukkan bahwa hukum bukan menjadi panglima tetapi justru hukum menjadi kapitalisasi oleh kepentingan segelintir elit kelas pemodal.


    Sehingga hukum mengalami kehilangan roh serta pilkada Mabar menjadi kehilangan makna dan kehilangan relevansi. Akibatnya mengalami kemerosotan kadar demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. 


    Sikap tersebut menjadi ancaman serius terhadap perkembangan sistem hukum sehingga perlu mendapat perhatian serius oleh semua pihak terutama lembaga  kepolisian selaku penegak hukum dan lembaga penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu.


    Agar sikap pengembangan hukum EE perlu mengambil langkah tegas agar hukum pemilu dan hukum-hukum lain yang mempunyai relevansi dengan kegiatan pemilukada perlu ditegakkan secara murni dan konsekuen. 


    Hukum perlu disteril untuk menolak para calon yang semberono, calon yang tidak memiliki kualifiaksi hukum pemilukada serta mengedepankan pinsip kepastian hukum, proporsional dan penuh dengan kejujuran. 


    Berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana hal tersebut di atas, sebagai kesimpulan bahwa tulisan ini sebagai masukan terhadap lembaga kepolisian setempat dan pihak penyelenggara pilkada Mabar dalam hal ini KPUD dan Bawaslu, untuk mempertimbangkan Bakal calon EE.


    Agar jangan sampai diberi celah untuk lolos ditetapkan sebagai peserta pilkada yang diusung oleh partai Nasdem, PKPI, dan PBB.


    Jika bakal calon EE lolos sama artinya lembaga Kepolisian terkait dengan SKCK yang dikeluarkan kepolisian setempat, KPUD dan Bawaslu Mabar tengah mendorong untuk menciptan kondisi sosial yang dianggap mengadu-domba antara kelompok yang pro dan kontra terhadap kedudukan hukum EE. 


    Tidak hanya itu dampak lainnya Polres Mabar dan pihak penyelenggara berpotensi besar akan digugat secara hukum oleh paket lain yang kontra dengan EE.


    Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si merupakan Dosen Fisip Hubungan Internasinal Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan dosen Fisip ilmu politik Universitas Bung Karno Jakarta.


    Isi tulisan menjadi tanggung jawab penuh penulis.


    BACA JUGA


    Dicubit Rizal Ramli, Golkar Geger


    Pantas-Rizki Representasi Golongan Nasionali dan Religiusitas dalam Pilkada Mabar


    Rueng dalam Perspektif Kepemimpinan Politik Manggarai

    Komentar

    Tampilkan

    Viral