- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Gastrosofi dan Hang Cama dalam Masyarakat Manggarai

    congkasae.com | Editor: Antonius Rahu
    24 November, 2023, 16:56 WIB Last Updated 2023-11-24T09:56:31Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

    Gastrosofi dan Hang Cama
    Sekelompok orang tengah menyantap hang nurung (sisah makanan yang dipersembahkan untuk leluhur orang manggarai) Foto Kompas Travel


    ***Oleh Alfred Tuname***

    [Congkasae.com/Sosial Budaya] Masyarakat di lembah Colol, Kabupaten Manggarai Timur, akan menyangka, orang yang tidak “tambah” saat makan adalah orang sakit (ata beti). 


    Pada saat makan bersama, tuan rumah menawarkan tamu untuk tambah makan. Tawaran itu bukan basa-basi sopan-santun, tetapi bagian dari budaya kebersamaan. 


    Kalau  tamu merasa cukup dan tidak tambah, seorang ibu akan bertanya, “nana, nekarabo, asa manga beti ité?” (maaf, lagi sakit kah?). Imajinasinya, orang sakit biasanya susah makan atau hanya makan sedikit.   


    Orang Manggarai adalah tuan rumah yang baik hati. Perhatian akan makan dan minum untuk para tamu sangat tinggi. 


    Tamu yang datang ke rumah selalu ditawari minuman. Jangankan tamu keluarga, orang asing pedagang keliling pun ditawari minuman saat berjualan di rumah orang Manggarai. Mau kopi atau teh? Kopi pahit atau manis? 


    Kalau kita berada di Biting (wilayah lembah Colol), suguhan minuman kopi akan dipisahkan dari gelas gula. 


    Waktu gula masih susah didapatkan, kopi pahit akan disuguhkan dengan buah pisang. Enak juga. Saat daun teh belum ada, peminum teh akan disuguhkan air putih hangat. Itu saja. Sekarang semuanya tersedia: kopi, teh, susu, gula, minum jahe, dll. 


    Kalau orang Manggarai terkenal sebagai peminum kopi yang handal, orang Jawa terkenal dengan senang panganan tempe. 


    Di sana, tempe sudah dikenal sejak Serat Centhini dituliskan oleh Pakuwana V pada tahun 1814, bahkan jauh sebelum itu. 


    Itu masa jauh sebelum Belanda membawa tanaman kopi ke Colol.  Soekarno yang mengatakan “kita bangsa besar, kita bukan ‘bangsa tempe’…” (Pidato HUT RI pada 17 Agustus 1963) adalah justru seorang pencinta panganan tempe yang ulung, khususnya tempe bacem ( buku Hariyatie-Soekarno: The Hidden Story: Hari-Hari Bersama Bung Karno, 1963-1967, Penerbit Gransindo: 2001).


    Itu berarti, makanan atau minuman (kuliner) itu bukan sekadar soal selera, tetapi rasa penanda sejarah dan geografi. Pada lintasan sejarahnya adalah arsiran seni dan  tapak filosofis yang kita sebut sebagai gastrosofi.   


    Bagi Viktor Laiskodat (mantan Gubernur NTT), banyak makan adalah seni makan orang miskin; bagi orang lembah Colol, malah itu sehat. Kenapa demikian? Boleh jadi, alas historisnya berbeda. 


    Dalam diri mantan gubernur itu mungkin terikat etiket kebiasaan perjamauan yang kaku dan table manner  yang ketat: makan sedikit, tapi menunya banyak; tidak boleh batuk saat makan; piring besar, sendok dan pisau potongnya berjenis-jenis, dll. 


    Atau jangan-jangan ia sedang sakit, sehingga gairah makan lemah dan dengan pantangan berlebih. 


    Sementara kenapa kebiasaan orang Biting (di lembah Colol) harus banyak makan? Mungkin karena mereka punya sejarah yang tragis. 

    Kopi pait orang Manggarai Timur
    Seorang ibu tengah menuangkan minuman kopi panas kedalam beberapa cangkir untuk dihidangkan kepada tamu/Foto Nathional Geographic


    Pada tahun 1928, terjadi paceklik hebat di wilayah Biting. Banyak warga yang mati kelaparan. Itu cerita dari Raja Manggarai Constantinus Ngamboet (bdk. Anton Bagul, dkk. ed, 1989). Sejarah kelam itu tak boleh terulang. Orang Biting pasti akan makan sampai kenyang.  


    Makan berlebih memang tidak sehat. Tetapi selama masih cukup dan lapar, ya makan saja. Rasa lapar bisa membuat tubuh lemas dan otak lemah. 


    Kenyang adalah tanda seseorang siap bekerja. Petani butuh banyak asupan karbohidrat; pemikir butuh banyak asupan protein. 


    Kurang karbohidrat berujung marasmus; kurang protein bisa kwasiorkor; kurang semua asupan gizi disebut stunting pada anak. Kurang makan, ya lapar. 


    Orang Manggarai, atau bangsa Indonesia pada umumnya, belum kenyang kalau belum makan nasi. Toe di becur emé toé di hang hang


    Makan roti pakai daging atau ubi pakai ikan belum dirasa kenyang. Harus ada nasi. Makan mie, harus pakai nasi, meski kandungannya sama: karbohidrat.  


    Sebelum ada nasi, sebelum ada beras, orang Manggarai makan umbi-umbian. Ada istilah nasi kaget, yakni potongan-potongan kecil ubi talas (teko) direbus, dan setelah masak, teko ditekan hingga menjadi seperti nasi. 


    Rasanya unik, dan tetap bisa bikin kenyang. Bupati Manggarai Timur Agas Andreas, dibesarkan dengan makan nasi kaget. 


    Penulis dan Caleg Dapil Kotakomba-Kotakomba Utara, Kanis Lina Bana, dan Frans Pantur menulis kisah sang bupati dalam buku berjudul “Si Bocah Nasi Kaget” (Penerbit Absolute Media, 2013). 


    Dulu, nasi itu simbol prestise. Orang yang makan nasi (hang hang) adalah keluarga kaya (the have). Biasanya orang makan nasi kalau ada acara atau hajatan besar: Penti (Tahun Baru Manggarai) atau peristiwa kematian. 


    Karena masih sistem padi ladang, hasil panen hanya sedikit. Padi diisi dalam bambu besar (betong), lalu disimpan. 


    Kalau ada hajatan, padi dikeluarkan sedikit  demi sedikit, ditumbuk jadi beras untuk dimasak. Makan nasi, daging kuda atau kerbau dan sayurnya  “saung ndusuk” (malestomataceae).


    Di Borong, makan nasi semakin familiar setelah pembukaan sawah. Persawahan Waereca, Desa Nanga Labang menjadi bukti perhatian raja-raja Manggarai akan pangan masyarakatnya. 


    Bupati Frans Sales Lega mengakui dan berterima kasih kepada Raja Manggarai: RajaTamoer, Raja Bagoeng, Raja Baroek dan Raja Ngambut, yang telah menginisasi persawahan di Dampek, Cancar dan Waereca (Ibid, hal. 62). 


    Mungkin saja para raja takut kalau rakyat berteriak minta makan, seperti tulisan spanduk dalam film Year of Living Dangerously, “Soekarno, Beri Rakyatmu Makan”. 


    Tentu saja jauh sebelum pembukaan sawah itu, suda ada beras orang Borong. Ada cerita, gara-gara persoalan beras, terjadi perang di Borong. 


    Namanya, Rampas Borong. Rampas Borong terjadi karena orang-orang Bugis berlaku tidak adil terdahap pedagang beras dari Ruteng di Pasar Borong. 


    Ketersinggungan mengakibatkan perang. Dalu Ruteng, Kraeng Ame Enggong, bersama Dalu Sita berhasil balas dendam dan mengusir orang Bugis dari Pasar Borong. 


    Menurut cerita, areal Puskemas Borong merupakan tempat perkuburan orang-orang Bugis yang meninggal saat perang. 


    Itulah perang. Pertikaian sering bermula dari persoalan perut. Semua orang butuh makan, oleh karena itu keadilan dan berbagi rasa akan makanan itu sangat penting. 


    Rasa kebersamaan dalam hal makan sangat dirasakan dalam budaya Manggarai. Orang Manggarai merasa “kurang enak” kalau makan sendirian. 


    Selalu ada kebahagiaan untuk makan bersama. “Asa hang camas ga!” (:mari kita makan bersama) adalah sapaan ketika hendak makan bersama. 


    Kalau orang Jawa ada ungkapan “mangan ora mangan sing penting ngumpul”. Makan ataupun tidak, yang penting ngumpul. 


    Di Manggarai, saat berkumpul bersama, orang pasti makan. Seorang ibu akan mengatakan “maram cekoén, tama hang”. Biar sedikit, harus makan.  


    Akhirnya, mari kita hargai makanan dan budaya seputarnya. 



    Alfred Tuname merupakan seorang Esais, tulisan-tulusannya kerap menyoroti isu sosial dan politik saat ini tinggal di Borong Manggarai Timur.

    Komentar

    Tampilkan