- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    5 Falsafah Hidup Orang Manggarai Memudar, Kata Menteri HAM RI Natalius Pigai

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    22 Mei, 2025, 08:17 WIB Last Updated 2025-05-22T10:32:40Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
     
    Mentri Hak Azasi Manusia Natalius Pigiai ketika menerima ayam simbol penyambutan dari pemkab Manggarai dalam kunjungannya ke Manggarai Selasa 20 Mei 2025
    Menteri Hak Azasi Manusia Natalius Pigai ketika menerima ayam simbol penyambutan dari pemkab Manggarai dalam kunjungannya ke Manggarai Selasa 20 Mei 2025

    5 Falsafah Hidup orang Manggarai kian memudar di kalangan generasi penerus Manggarai, akibatnya muncul beragam konflik di tengah masyarakat yang penyelesaiannya mengabaikan hukum adat

    [Congkasae.com/Lejong] Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia Natalius Pigai mengakui 5 falsafah hidup orang Manggarai sejalan dengan prinsip Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.


    Pengakuan itu diutarakan menteri asal Papua itu ketika mengadakan kunjungan kerja ke Pagal, kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai pada Rabu 21 Mei 2025 kemarin.


    Dalam sambutannya di hadapan warga Pagal Natalius memaparkan bahwa kelima falsafah atau pedoman hidup yang dimiliki orang Manggarai merupakan dasar dalam bertindak, bertingkalaku termasuk bersosialisasi dalam membangun peradaban.


    "Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu sejalan dengan Falsafah Hidup Masyarakat Adat Manggarai yaitu Compang Bate Dari (atau compang bate takung),” kata Natalius Pigiai di hadapan warga Cibal Rabu 21 Mei 2025.


    Adapun kelima falsafah hidup yang disinggung Natalius dalam sambutannya yakni Mbaru Bate Ka'eng, rumah sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung dan berteduh bagi orang Manggarai, karena itu orang Manggarai selalu mengadakan ritus-ritus tertentu untuk keamnanan dan kenyamanan rumah yang ditempati.


    Falsafah hidup yang kedua yakni Uma Bate Duat, orang Manggarai yang mayoritas berprofesi sebagai petani meyakini bahwa ladang garapan adalah sumber penghidupan. 


    Karenanya menggarap ladang harus melewati serangkaian ritus yang diyakini bisa memberi hasil panen yang berlimpah, termasuk untuk menghindari serangan hama penyakit pada tanaman.


    Falsafah hidup yang ketiga yakni Wae Bate Teku, orang Manggarai meyakini air sebagai sumber penghidupan harus dijaga dirawat termasuk hutan di sekitar mata air.


    Karenanya ritus barong wae wajib dilakukan setiap tahun yakni merawat kembali hutan yang ada di sekitar mata air agar terus membualkan mata air yang jernih untuk menghidupi warga.


    Falsafah hidup yang keempat yakni Natas Bate Labar, yakni sebuah tempat yang diperuntukan bagi seluruh warga kampung untuk melakukan aktifitas mereka.


    Orang Manggarai meyakini Natas sebagai tempat untuk membangun sosialisasi antar sesama warga, membina hubungan baik antar sesama dan membangun relasasi termasuk tempat untuk menghabiskan waktu senggang.


    Natas juga diyakini sebagai ruang terbuka hijau yang diperuntukan bagi seluruh warga kampung.


    Karenanya segala keperluan yang melibatkan orang dalam jumlah banyak seperti pesta dapat digelar di Natas.


    Falsafah hidup yang kelima yakni Compang Bate Takung, adapula yang mengatakan Compang Bate Dari.


    Prinsip ini menggambarkan bagaimana orang Manggarai membangun hubungan dengan Tuhan sebagai sang pencipta (Jari agu Dedek) termasuk membina hubungan baik dengan para leluhur mereka melalui serangkaian ritus di atas compang alias mesbah.


    Keberadaan Compang yang terletak di tengah-tengah kampung menandakan posisinya sangat utama dalam budaya Manggarai.


    Serangkaian ritus besar biasanya digelar di atas compang yang menandakan fungsi utamanya.


    Anda bisa membaca ulasan mendalamnya dalam link ini.


    Falsafah hidup yang sudah disusun oleh nenek moyang Orang Manggarai kian pudar terutama di kalangan orang Manggarai dewasa ini.


    Hal itu juga diakui oleh Mentri Hak Azasi Manusia, Natalius Pigiai.


    Natalius mengakui lima falsafah hidup orang Manggarai itu kian pudar di tengah tantangan zaman.


    “5 falsafah itu banyak yang tidak menghidupkan, saya bayangkan kalau 5 pilar itu dihidupkan nanti ada pusat spiritualitas disitu, ada pusat kelestarian alamnya di situ, pusat perekonomian, pusat bermusyawarah” kata Natalius Pigai.


    Akibatnya kata dia, timbul berbagai konflik sosial di tengah masyarakat Manggarai dewasa ini yang penyelesaiannya jarang melibatkan lembaga adat.


    Ia mencontohkan kasus tambang mangan di Reok yang terjadi 20 tahun lalu yang melibatkan perusahaan tambang dan masyarakat sekitar.


    Kasus itu terselesaikan setelah tim komnas HAM turun tangan berdialog dengan semua pihak.


    Ia mengatakan kasus semacam itu seharusnya bisa diatasi dengan melibatkan lembaga adat Manggarai.


    Natalius menekankan setiap orang Manggarai untuk kembali menghidupkan kelima pilar atau falsafah hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Manggarai.


    Ia menekankan jika kelima pilar itu dihidupkan kembali maka segala konflik yang timbul di tengah masyarakat dapat teratasi dengan baik.


    Untuk itu kedepannya, kata dia, kementrian HAM RI akan mengajukan rancangan undang-undang yang mengatur hukum adat ke badan legislasi.


    Ia meminta masyarakat Manggarai untuk kembali menghidupi 5 falsafah hidup yang telah diwarisi nenek moyang orang Manggarai demi terciptanya harmonisasasi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


    Pigiai mengungkapkan bahwa ia mulai belajar bahasa Manggarai sejak 20 tahun lalu saat masih menjadi Komisioner Komnas HAM.


    Ketika itu, ia sering ke wilayah Manggarai untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama yang berkaitan dengan tambang mangan.


    “Saya belajar langsung dari masyarakat dan bergaul dengan orang-orang Manggarai di Jakarta, hingga akhirnya mahir berbahasa Manggarai,” ungkapnya.


    Menurutnya, penggunaan bahasa daerah sangat penting dalam penyuluhan HAM agar materi yang disampaikan bisa lebih mudah dipahami oleh masyarakat adat.


    “Masyarakat adat sering kesulitan memahami istilah-istilah ilmiah atau hukum. Maka pendekatan dengan bahasa lokal menjadi jembatan penting untuk menyampaikan substansi HAM,” jelas Pigai.


    Ia juga menjelaskan bahwa nilai-nilai HAM telah hidup dalam lima falsafah hidup orang Manggarai, yaitu: umat bate duat (kebun sebagai tempat kerja), wae bate teku (sumber air minum), gendang one lingko peang (sistem sosial masyarakat adat), natas bate laber (tempat bersosialisasi), dan compang bate ndari (tempat berdoa). Kelima falsafah ini menurutnya, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.


    “Orang Manggarai sudah memahami nilai-nilai HAM sejak dalam kandungan, karena sejak sembilan bulan dalam rahim, hak-haknya sudah dilindungi,” tegasnya.


    Pigai mengaku tersentuh dengan sambutan hangat masyarakat adat Manggarai, terutama para tua adat.


    Ia bahkan mengungkapkan kebanggaannya karena telah diangkat sebagai kepala suku oleh masyarakat Manggarai.


    “Saya biasa berbicara di hadapan ribuan orang di seluruh Indonesia, tetapi hari ini saya merasa gugup karena berbicara di depan para tetua adat yang telah mengangkat saya sebagai bagian dari mereka,” tutup Pigai dengan penuh haru.

    Komentar

    Tampilkan

    Bersama Menjaga Warisan Kita

    Dukung Congkasae agar terus hidup dan tumbuh sebagai suara budaya Manggarai.

    Kenapa Kami Butuh Dukungan?

    Congkasae.com hidup dari semangat dan cinta pada budaya. Tapi kami juga perlu dana untuk membayar penulis lokal, mengembangkan situs, dan mendokumentasikan cerita-cerita budaya kita.

    Donasi Sekali atau Rutin

    Atau transfer langsung:

    • BRI 472001001453537 (a.n. Congkasae)
    QRIS

    Pasang Iklan atau Kerja Sama

    Kami membuka kerja sama dengan UMKM, NGO, sekolah, atau pemerintah daerah untuk iklan, pelatihan, dan proyek kolaboratif.

    Kontak Kami Langsung

    Kata Mereka

    "Saya senang bisa mendukung media yang memperjuangkan akar budaya Manggarai." – Julius, diaspora di Jakarta
    "Congkasae adalah media yang dekat dengan hati kami di Manggarai." – Frans, guru di Ruteng