- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Algoritma: Ketika Klik Menjadi Takdir

    Congkasae.com| Tim Redaksi
    18 Agustus, 2025, 11:03 WIB Last Updated 2025-08-18T04:03:50Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     Algoritma: Ketika Klik Menjadi Takdir



    **Oleh Sandryaka Harmin**

    Beberapa waktu lalu saya sering mendengar umpatan dan lelucon dari beberapa orang teman yang membahas konten yang belakangan FYP (For Your Page) di media sosialnya. 


    Beberapa yang paling sering mereka singgung adalah yang  dikenal "undik". Beberapa kali link konten itu dibagikan ke Grup WhatsApp hanya sekadar untuk melempar jokes. 


    Tetapi di sini saya sedang tidak bermaksud membahas konten yang dimaksud tapi hendak menyoroti algoritma itu sendiri yang tentu bermanuver dibalik konten-konten yang dikonsumsi oleh teman-teman saya dan banyak orang lainnya.


    Setelah menelusuri sontak mempelajari banyak literatur, rasanya saya perlu menyampaikan buah pikiran saya  tentang algoritma, saya sedikit khawatir algoritma berpengaruh besar pada kualitas diri Seseorang.


    Di zaman ini, kita hidup di dalam sebuah jaring halus yang tak kasat mata: algoritma. Ia ada di balik layar ponsel, di antara baris kode, dan di dalam setiap rekomendasi video, artikel, atau iklan yang muncul tanpa kita minta. 


    Kadang ia terasa seperti seorang sahabat yang tahu apa yang kita butuhkan, kadang juga seperti seorang penguntit yang terlalu ingin tahu tentang kita. 


    Namun yang sering luput kita sadari algoritma sebenarnya hanyalah cermin. Ia tidak lebih dari bayangan dari diri kita sendiri.


    Mari bayangkan sejenak. Seseorang yang gemar mencari gosip, video lucu, atau berita sensasional akan selalu diberi lebih banyak hal serupa. 


    Bukan karena algoritma kejam, tapi karena ia bekerja dengan sangat sederhana, memberi apa yang paling sering kita sentuh. 


    Lalu seseorang yang senang membaca filsafat, belajar sejarah, atau menonton diskusi ilmiah juga akan mendapat dunia yang berbeda sebuah ruang yang penuh dengan ide-ide besar. 


    Jadi, algoritma bukanlah tuan, ia hanya pelayan. Dan pelayan ini, suka atau tidak, sedang membawakan hidangan yang kita sendiri pilih.


    Di sinilah kualitas diri berbicara. Kualitas diri adalah semacam kompas batin: disiplin, integritas, kesabaran, juga ketajaman berpikir. 


    Orang yang kualitas dirinya terjaga akan menempatkan algoritma pada posisi yang tepat sekadar alat, bukan penguasa. 



    Ia tahu bahwa tidak semua yang muncul di layar harus diklik. Ia tahu, dunia maya penuh jebakan, dan ia memilih dengan sadar mana yang layak disantap dan mana yang harus dilewatkan.


    Namun, paradoks muncul. Algoritma tidak hanya mencerminkan, ia juga membentuk. Seperti sungai yang perlahan mengikis batu, ia bisa mengubah pola pikir tanpa kita sadari. 


    Semakin sering kita memilih jalan instan, semakin dangkal arus yang kita masuki. Semakin tekun kita mencari hal bermanfaat, semakin luas cakrawala yang dibukakan. 


    Pertanyaannya, siapa yang lebih dulu berdiri kokoh, kualitas diri kita, atau tarikan algoritma yang selalu ingin membuat kita betah di dalam jaringnya?


    Banyak orang mungkin tidak sadar, mereka perlahan menjadi “alat” dari algoritma itu sendiri. Mereka menelan apa saja yang muncul, tenggelam dalam pusaran video tak berujung, percaya begitu saja pada berita yang belum jelas sumbernya. 


    Di titik ini, kualitas diri runtuh. Orang tidak lagi punya kendali; hidupnya diarahkan oleh klik dan notifikasi. 


    Dunia menjadi sempit, pandangan terbatas, dan ia terjebak di ruang gema (echo chamber) yang hanya memperdengarkan suaranya sendiri.


    Sebaliknya, ada juga orang yang menjadikan algoritma sebagai sarana belajar. Ia sadar bahwa setiap klik adalah keputusan moral kecil. 


    Setiap pilihan akan melatih algoritma seperti melatih seekor anjing, jika kita memberi makan pada hal yang baik, ia akan membawa lebih banyak kebaikan; jika kita memberi makan pada hal yang buruk, ia akan menggelembungkan keburukan itu. 


    Maka, kualitas diri justru bisa dilatih melalui algoritma karena setiap kali kita membuka layar, kita berhadapan dengan cermin yang jujur, tak pernah berbohong tentang siapa kita sebenarnya.


    Di titik ini, saya jadi teringat pada filsafat teknologi. Heidegger pernah mengatakan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara dunia menyingkap dirinya. 


    Algoritma bekerja dengan logika yang sama. Ia menyingkapkan siapa kita, bahkan hal-hal yang kadang kita sembunyikan dari orang lain. 


    Jika kualitas diri kita rapuh, ia akan menyingkapkan keretakan itu. Jika kualitas diri kita kuat, ia akan memperlihatkan cahaya yang kita rawat.


    Maka, pertanyaannya bukan lagi “Apakah algoritma berbahaya?” Tetapi lebih pada “Apakah kualitas diri kita cukup kuat untuk berdiri di hadapan algoritma?” Karena pada akhirnya, teknologi hanya setajam tangan yang menggunakannya. 


    Pisau bisa menjadi alat memasak, bisa juga menjadi senjata. Internet bisa menjadi sekolah tak terbatas, bisa pula menjadi penjara yang membuat kita malas berpikir.


    Kita hidup di zaman ketika algoritma tak mungkin dihindari. Ia ada dalam percakapan, belanja, hiburan, bahkan doa-doa yang direkam di layar ponsel. 


    Satu-satunya jalan adalah merawat kualitas diri. Belajar berpikir kritis, menjaga disiplin, dan menyadari bahwa waktu di dunia digital adalah bagian dari hidup nyata kita, bukan sekadar “main-main”. 


    Dengan begitu, kita bisa berdiri tegak dan berkata algoritma boleh menuntun, tapi arah jalan tetap kita yang tentukan.


    Dan pada akhirnya, bukankah hidup memang selalu begini? Dunia luar akan selalu mencoba memengaruhi kita. 


    Entah lewat orang, keadaan, atau kini lewat algoritma. Namun, diri kita sendirilah yang menjadi benteng terakhir. Jika benteng itu kokoh, maka algoritma hanya akan menjadi sahabat perjalanan. 


    Tetapi jika ia rapuh, jangan salahkan siapa-siapa ketika kita tersesat di belantara digital yang tanpa ujung.

    *Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang


    Komentar

    Tampilkan

    Bersama Menjaga Warisan Kita

    Dukung Congkasae agar terus hidup dan tumbuh sebagai suara budaya Manggarai.

    Kenapa Kami Butuh Dukungan?

    Congkasae.com hidup dari semangat dan cinta pada budaya. Tapi kami juga perlu dana untuk membayar penulis lokal, mengembangkan situs, dan mendokumentasikan cerita-cerita budaya kita.

    Donasi Sekali atau Rutin

    Atau transfer langsung:

    • BRI 472001001453537 (a.n. Congkasae)
    QRIS

    Pasang Iklan atau Kerja Sama

    Kami membuka kerja sama dengan UMKM, NGO, sekolah, atau pemerintah daerah untuk iklan, pelatihan, dan proyek kolaboratif.

    Kontak Kami Langsung

    Kata Mereka

    "Saya senang bisa mendukung media yang memperjuangkan akar budaya Manggarai." – Julius, diaspora di Jakarta
    "Congkasae adalah media yang dekat dengan hati kami di Manggarai." – Frans, guru di Ruteng