- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Pesan Malaikat

    congkasae.com | Editor: Antonius Rahu
    06 Februari, 2024, 17:21 WIB Last Updated 2024-02-06T10:21:48Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1


    Oleh Anselmus Sudirman*


    Setahun belakangan ini aku tidak pernah pergi ke pasar buah lagi, terletak di sebelah barat tempat aku tinggal dan jaraknya sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. 


    Menjelang matahari terbit, aku berangkat ke sana. Sepanjang jalan aku bisa menikmati pemandangan indah, di seberang sawah dengan padinya yang sudah menguning terdapat hamparan bukit-bukit kecil yang dari kejauhan tampak seperti gigi gergaji. 

     

    Sejujurnya dengan berjalan kaki hari itu aku bisa bersantai sejenak meskipun begitu banyak pikiran yang masih berseliweran di kepalaku. Bahkan sampai pada titik terburuk, beban kehidupanku semakin parah. 


    Tagihan pinjaman di bank, biaya kuliah anak-anakku, hingga tagihan kredit rumah yang menunggak telah membuatku terjebak dalam perangkap yang kuciptakan sendiri.


    Bahkan upayaku untuk berjalan kaki ke pasar hari itu hanya menambah perangkap baru. Dugaanku betul. 


    Baru berapa detik aku berdiri di depan kios, beberapa teman lamaku langsung mendatangiku sambil membawa tanda bukti bon yang belum kulunasi dua bulan sebelumnya. Satu demi satu kulayani mereka. Masalah hari itu teratasi. 


    Aku melangkah di lorong-lorong sempit dan kembali ke kebiasaan lamaku – bersiul sambil berjalan pelan. 


    Ketika sampai di pintu gerbang selatan di ujung lain area pasar itu, aku melihat seorang pria yang berpenampilan kumuh, tidak terlalu jauh dari tempat aku berdiri. Dia tertawa lepas dan berbicara sendiri.


    Setelah mendekatiku, kini aku menyadari bahwa orang gila yang sama masih bercokol di tempat itu sejak beberapa tahun terakhir. Orang-orang di pasar itu memanggilnya Wedol. 


    “Hari ini sungguh istimewa,” dia membuka percapakan dan menatapku aneh. “Istimewa apanya?” aku menggerutu dalam hati. “Kau tidak tahu, ritme kehidupanku akhir-akhir ini sudah menunjukkan tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan.” 


    “Kau kelihatan khawatir,” dia berkata lagi, kali ini tatapannya terlihat misterius. Aku terperangah, tidak menyangka kalau dia bisa memahami pikiranku. “Biasalah, Wedol,” tanggapku santai. “Tidaklah mudah mengurusi anak-anak. Mereka lagi membutuhkan banyak biaya.”  


    Orang-orang yang melewati lorong itu berusaha menghindari kami dengan tatapan dan seringai sinis. Aku yakin mereka telah mengenal pria gila yang sedang berbicara denganku. 


    Mungkin mereka mengira bahwa aku termasuk orang gila baru di tempat itu. Aku tidak peduli. 


    Sebelum pergi dari hadapannya, aku memberinya permen karet. Aku senang karena dia mau menerima pemberianku. Tiba-tiba dia menepuk bahuku dan berkata, “Kau harus membaca Mateus 6: 34.”


    Aku hanya menatapnya dalam diam seperti terhipnotis. Kata-katanya pun membuatku semakin gelisah dan panik. Aku langsung pergi dan terus melangkah dalam kebingungan. Sesampai di sudut lain pasar itu, aku duduk sebentar. 


    “Jangan-jangan ini ayat tentang kematian?” Pikiranku makin kacau, tak karuan. “Oh tidak, jangan sampai aku mati muda.” Kusadari betul, sudah sekian lama aku jarang membaca Kitab Suci.


     Angka 6 dan 34 makin terngiang-ngiang di kepalaku. “Anggota keluargaku ada 6 orang, terdiri dari 1 istri, 4 anak. Dan aku sendiri berusia 34 tahun.”


    Pikiranku sudah berada di ambang yang menakutkan. Aku sudah merasa seperti orang gila saja. Untung teman lamaku yang bernama Toni lewat di depanku dan menyapaku ramah. 


    Aku balik menyapanya tetapi aku heran dia malah mengeluhkan dagangannya yang tidak laku terjual. Belum lagi, anak-anaknya membutuhkan biaya tambahan di sekolah. 


    Ternyata kami menghadapai masalahan yang sama. Setidaknya aku merasa tidak sendirian.  

     

    “Aku barusan bertemu si Wedol di sebelah sana,“ aku bercerita dengan penuh semangat. “Omong punya omong, kukira dia bukan orang gila. Baru kali ini dia berbicara begitu warasnya.” Sambil menunggu responsnya, aku hampir saja menceritakan tentang ayat Kitab Suci yang disampaikannya. 


    “Kau ketemu Wedol?” Toni bertanya heran dan terlihat ekspesi wajahnya yang tidak percaya pada perkataanku. “Dengar ya, dia itu sudah almarhum, meninggal setahun yang lalu.” Aku merasa ketakutan. “Lalu tadi itu siapa?” aku bertanya. “Mana kutahu?” Jawabnya dingin. “Itu mungkin penampakan.” 


    Aku berusaha menutupi rasa takut yang sedang kuhadapi berbalut ayat Kitab Suci itu. Seberapa besar pun ketakutan yang kualami sungguh tidak sebanding dengan gejolak rasa penasaran yang tetap menguasai diriku. 


    “Cobalah kau tenang, Mario,”aku menenangkan diriku sendiri. “Tunjukkan kepada dunia wajahmu yang sedang gembira. Apakah kau tidak bersyukur dengan barang belanjaan ini?”  


    Saya mulai berbelanja dan menampilkan kepalsuan di hadapan semua orang yang kujumpai hampir di setiap sudut pasar itu. 


    Tapi jauh di dasar hatiku aku masih merasa seperti orang yang tidak beriman. Seandainya saja aku rajin membaca Kitab Suci, mestinya aku langsung mengetahui isi pesan dalam Mateus 6:34. 


    Tiba-tiba aku ingat pesan khotbah Romo Ludo saat memimpin misa di Stasiku, “Manusia yang mengaku beriman tetapi tidak menghayatinya bagaikan zombie yang berkeliaran di sekitar kita.


     Dia kelihatan hidup tetapi imannya mati, kata-katanya kosong dan perjuangannya sia-sia karena tidak mengandalkan Tuhan.”    


    Saat kembali ke rumah, aku seperti merasakan sebuah tamparan hebat di wajahku. Kali ini aku menjadi sangat malu. 


    Aku memiliki Kitab Suci tetapi jarang membacanya. Bahkan hanya menjadikannya sebuah pajangan di etalase kamar tamu. 


    “Oh, Pak sudah kembali,” kata istriku tergopoh-gopoh dari balik pintu seraya mengambil semua barang belanjaanku. “Tapi mengapa wajahmu terlihat begitu panik?” 


    Aku tidak menghiraukannya, terus melangkah cepat ke sebuah kamar dan sesampai di sana aku membuka semua kotak kecil menyerupai roti lapis di dekat lemari.  


    Barang yang kucari tak kunjung ketemu. “Dimana kuncinya? Dimana?” aku bertanya pada istriku. “Kunci apa, Pak?” dia bertanya penasaran. “Kunci etalase,” jawabku.

     

    Dia tersenyum padaku dan berkata sambil menunjuk ke sisi lain kamar itu, “Kunci etalase selalu ada di sana, di atas meja kecil itu. Selama ini sudah terikat jadi satu dengan kunci motor.”  


    Dalam sekejap aku segera membuka etalase dan mengambil Kitab Suci yang sampulnya terlihat usang itu. Dalam hitungan detik, tanganku sudah sampai di Matius 6:34 dan mulai membacanya,”Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”  


    Aku menceritakan kembali apa yang telah terjadi pada hari itu di hadapan istri dan anak-anakku. Mereka terkesan dengan pengalamanku. 


    “Tuhan, terima kasih Engkau telah mengirim malaikat-Mu untuk mengubah hidupku,” demikian aku berkata saat kami berdoa bersama hari itu.


     “Aku telah menyesali perbuatan-perbuatanku yang berujung pada kekhawatiran berlebihan selama ini. Mulai sekarang aku selalu mengandalkan-Mu dalam segala perkara hidupku.” 


    Dua puluh tahun hari aku ingin melihat Wedol lagi. Sehari, dua hari, tiga minggu dan bahkan setahun lalu aku pergi ke tempat yang sama untuk memastikan apakah dia masih ada di sana.


    Usahaku sia-sia belaka. Jawaban orang-orang di sana masih sama seperti jawaban Toni. Aku pun menyerah.  


    Aku yakin malaikat itu telah pergi ke tempat lain untuk menolong orang-orang yang sedang menghadapi  permasalahan pelik. Kuberharap dan berdoa, “Semoga semakin banyak orang yang memperoleh keselamatan dalam dan melalui misi kemalaikatannya.” 



    *Anselmus Sudirman adalah dosen di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Dia berasal dari Tangkul, Paroki St. Petrus Colol, Manggarai Timur; 

    Komentar

    Tampilkan