Para tongka ata torok laing sedang melihat usus ayam sebagai bagian dari ritus toto urat |
Toto urat dalam budaya Manggarai merupakan upaya manusia membaca maksud dan keinginan Tuhan tentang apa yang diperbuat oleh manusia dengan melihatnya pada usus ayam jantan.
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Bicara soal keyakinan dan budaya tentu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia itu sendiri termasuk dalam budaya Manggarai Flores, Nusa Tenggara Timur.
Orang Manggarai yang telah mendiami pulau Flores bagian Barat berabad-abad silam memiliki keyakinan yang diwariskan secara turun temurun perihal kehidupan yang mereka lakukan.
Beragam keyakinan ini biasanya membentuk tatanan sosial masyarakat yang senantiasa mengatur bagaimana berinteraksi secara sesama manusia, dengan lingkungan alam terutama dengan sang pemilik kehidupan yakni Jari Agu Dedek (Tuhan).
Seperti diantaranya orang Manggarai meyakini jika hutan dan mata air memiliki penghuni yang sering disebut kakar tana.
Karenanya jika berada di tempat-tempat tersebut harus melakukan permisi kepada kakar tana agar tidak dijaili.
Kemudia orang Manggarai juga meyakini jika ada roh yang mendiami sebuah tempat yang sering disebut ata pale sina.
Ata pale sina ini berbeda dengan roh nenek moyang orang Manggarai hal tersebut dibuktikan dengan sebutan atau panggilan kepada roh-roh nenek moyang yang sering disebut empu agu empo, atau ata paang be le.
Karenanya dalam setiap ritus yang diadakan orang Manggarai pasti menyebutkan salah satu dari beberapa nama diatas termasuk dalam ritus teing hang, penti, bahkan karong wae.
Dalam setiap ritus yang digelar oleh orang Manggarai kerap menggunakan hewan seperti ayam, babi, kerbau, kambing sebagai medium berkomunikasi kepada semua unsur di alam termasuk kepada sang pencipta yakni Jari Agu Dedek.
Selain sebagai korban persembahan, hewan-hewan tersebut diyakini sebagai media pembawa pesan kepada manusia. Maka dari itu dalam setiap ritus yang dilakukan kerap mengadakan toto urat yang ada pada ayam jantan.
Pertanyaannya mengapa harus ayam? hal itu yang akan kita ulas dalam tulisan ini.
Hewan sebagai Pembawa Kabar
ka atau burung gagak sebagai pertanda buruk |
Konon dahulu orang Manggarai memiliki kedekatan dengan semua unsur di alam termasuk dengan sang pencipta yakni Jari Agu Dedek.
Saking dekatnya manusia dengan semua unsur di alam sampai-sampai hampir tak ada batas antara manusia dengan kakar tana, termasuk ata pale sina.
Konon untuk melakukan pekerjaan yang teramat sulit bagi manusia, seperti membangun benteng pertahanan dan membuat peralatan perang dalam limit waktu yang singkat cukup menyuruh kakar tana atau ata pale sina.
Maka mereka akan mengerjakan sesuai permintaan manusia dalam waktu semalam pun bisa jadi tentu dengan imbalan yang sudah disepakati bersama.
Semua bentuk komunikasi itu dilakukan melalui medium binatang atau hewan, misalnya ular yang sering merepresentasikan kekuatan jahat atau sihir, lalu kupu-kupu, burung gagak atau ka, hingga ayam dan babi dan anjing peliharaan.
Dahulu kala nenek moyang orang Manggarai meyakini jika burung gagak yang berwarna hitam bertengger di atas atap rumah maka hal itu menandakan kejadian buruk yang akan dialami penghuni rumah itu biasanya diyakini akan ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Hal yang sama juga dialami manusia jika melihat ulu bali (sejenis ular berkepala dua) maka akan ada anggota keluarga yang akan meninggal dunia.
Sementara jika dalam rumah didatangi kupu-kupu selain warna hitam maka diyakini sebagai pembawa rejeki dalam keluarga.
Jari Agu Dedek Pun Gunakan Ayam
ayam jantan (lalong cepang) |
Hal yang sama juga dilakukan oleh sang pencipta dalam berkomunikasi dengan makhluk ciptaannya yakni manusia.
Konon untuk berkomunikasi dengan manusia Jari Agu Dedek menggunakan ayam untuk menyampaikan pesan kepada manusia.
Namun suatu ketika Jari Agu Dedek mengirimkan sebuah buku yang berisi tulisan pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada manusia.
Namun dalam perjalanan ayam tersebut mencotok buku pemberian Jari Agu Dedek, akibatnya buku itu tak pernah diterima oleh manusia.
Ketika mengetahui bahwa buku itu sudah dicotok-cotok oleh ayam maka manusia pun membunuh ayam itu dan ususnya diperlihatkan kalau-kalau masih ada tulisan yang belum hancur dan masih bisa dibaca.
Sejak saat itu, bangsa manusia menggunakan ayam untuk berkomunikasi dengan Jari Agu Dedek (Tuhan), dalam setiap kali mengadakan ritual wajib melaksanakan toto urat sebagai cara untuk membaca pesan Jari Agu Dedek akan niat dan tindakan manusia.
Toto Urat sebagai Cara Manusia Membaca Maksud dan Keinginan Tuhan
Toto urat dalam budaya Manggarai merupakan upaya manusia membaca maksud dan keinginan Tuhan tentang apa yang diperbuat oleh manusia dengan melihatnya pada usus ayam jantan.
Dalam berkomunikasi dengan Jari Agu Dedek biasanya ayam dipegang oleh pembicara (tongka atau ata tombo laing) lalu semua niat dan keinginan kita disampaikan dengan bahasa-bahasa yang santun.
Lalu diakhir pembicaraan itu selalu diakhiri dengan perkataan ca sua telu di'a urat manuk yang disahut di'a oleh semua yang hadir.
Hal ini menunjukan bahwa manusia ingin menyampaikan semua keinginan kita kepada Tuhan, dan kepada para leluhur nenek moyang.
Setelah itu ayam itu disembelih dimana darahnya ditampung di atas wadah lalu ayam dibakar bulunya dibersihkan dan bagian dadanya dikelurkan menyisahkan usus dan paha.
Nah bagian usus dan badan ayam itulah yang akan diberikan kepada tongka atau ata torok laing, dimana ususnya diperlihatkan.
Jika ususnya besar maka itu pertandah Jari Agu Dedek dan para leluhur mengamini permintaan dan persembahan yang kita sampaikan.
Namun apabilah ususnya kecil, maka itu pertanda mereka kurang menyetujui apa yang kita haturkan. Setelahnya maka bagian hati dan sebagian ususnya dibakar untuk dipersembahkan kembali kepada Jari Agu Dedek dan para leluhur.
Jika bagian usus dan hatinya sudah matang, maka akan dipersembahkan dengan nasi air minum dan tuak.
Sementara beras dan darah ayam biasanya disiram di bagian pintu masuk rumah, hal ini menandakan pemberian kepada para roh yang ikut dalam ritual itu (ata pale sina).
Budaya toto urat itu sendiri berkembang dalam etnis orang Manggarai, pemilihan ayampun bukan sembarang ayam.
Untuk ritus tertentu seperti penti, harus menggunakan ayam jantan yang berwarna putih, yang melambangkan ketulusan dan kesucian.
Sementara untuk ritus caca selek dan upacara serupa wajib menggunakan ayam jantan yang berwarna merah bercampur hitam (lalong cepang), yang melambangkan kesukaan dan kegembiraan.
Lain hal dengan ritus kelas atau saung taa untuk orang yang sudah meninggal dunia wajib menggunakan ayam jantan berwarna hitam.
Hal itu melambangkan dunia orang mati yang tak pernah kembali menjadi manusia yang hidup.
Penulis: Antonius Rahu
BACA JUGA TULISAN SERUPA DARI ANTONIUS RAHU
Sistem Perkawinan Lili, Mempersunting Janda Demi Eksistensi Wa,u dalam Budaya Manggarai
Mbeko Toka Usang, Teknologi Modifikasi Cuaca Super Canggi dari Manggarai
Setelah Menikah, Pria Manggarai Wajib Wale Sida dari Anak Rona
Mau Nikahi Molas Manggarai? Cinta saja tidak cukup harus piara babi dan ternak ayam