- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Jurak dalam Hukum Adat Perkawinan Manggarai

    Tim Redaksi | Editor: Antonius Rahu
    05 Juli, 2022, 12:07 WIB Last Updated 2023-04-13T05:28:06Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     

    Jurak dalam perkawinan Manggarai
    Sepasang kekasih ketika memberikan ciuman usai mengadakan acara tukar kila
    ***Oleh Antonius Rahu***

    Istilah jurak merujuk pada hubungan suami istri yang tak wajar masih merupakan saudara dengan saudari (toe kop, toe ndoro) namun cendrung dipaksakan lantaran cinta.

    (Congkasae.com/Sosial Budaya)Masalah pertengkaran dua sejoli di pelabuhan PELNI Labuan Bajo pada akhir Juni lalu rupanya merembes ke berbagai hal.


    Selain mengulik masalah privasi, kasus tersebut juga menjadi contoh bagaimana seharusnya beretika di ruang publik hingga merembet ke masalah hukum perkawinan dalam budaya Manggarai.


    Masalah tersebut menjadi obrolan pengguna media sosial hingga menjadi topik perbincangan hangat.


    Berdasarkan kabar yang beredar hubungan keduanya ternyata tak direstui kedua keluarga besar lantaran memiliki hubungan darah.


    Kalaupun isu ini benar dan perkawinan keduanya dipaksakan maka pernikahan keduanya masuk dalam kategori perkawinan yang menerobos rambu hukum adat atau yang lebih dikenal dengan istilah jurak.


    Ya istilah jurak merujuk pada hubungan suami istri yang tak wajar (toe kop, toe ndoro) namun cendrung dipaksakan lantaran cinta.


    Misalkan saja dalam kasus ini jika saja Acin dan Econ yang disebut-sebut masih memiliki hubungan kekerabatan yang amat dekat, yakni anak Wina dan anak rona, maka sebenarnya hubungan keduanya bisa diteruskan dengan istilah tungku, namun dengan satu prasyarat dimana Econ harus berasal dari keturunan anak Wina (anak de Weta) sementara Acin harus berasal dari keturunan anak rona (anak de Nara).


    Namun apabilah yang terjadi sebaliknya dimana Acin berasal dari garis keturunan anak Wina (anak de Weta) sementara Econ berasal dari garis keturunan anak rona (anak de Nara), maka jika ditinjau diri aspek hukum adat perkawinan Manggarai perkawinan keduanya masuk dalam kategori Jurak jika dipaksakan.


    Jurak merupakan titik akhir dari sebuah hubungan yang menabrak hukum adat karenanya hubungan tersebut harus dihentikan karena dipercayai akan mendatangkan malapetaka (nangki) bagi kedua mempelai termasuk kedua keluarga besar 


    Sebelum kita bahas lebih jauh menyangkut jurak dan nangki ada baiknya kita kenal terlebih dahulu dengan sistem perkawinan menurut hukum adat di Manggarai.


    4 Jenis Perkawinan dalam Budaya Manggarai

    Perkawinan dalam budaya Manggarai merupakan sebuah peristiwa yang penting karena bukan hanya menyangkut hubungan kedua mempelai namun akan menyangkut kedua keluarga besar dan keturunannya.


    Bagi orang Manggarai menikah itu memiliki dua makna yakni nikah secara adat dan nikah secara gereja.


    Nikah adat merupakan pernikahan yang memiliki makna yang amat penting karena tahapan ini hubungan kedua keluarga besar ditelusuri secara baik.


    Apakah hubungan yang dibangun itu menabrak hukum adat atau tidak.


    Sementara nikah secara Gereja itu terjadi setelah semua urusan hukum adat dipenuhi yang dibuktikan dengan penyerahan mahar atau belis. 


    Maka kedua mempelai akan menghadap institusi keagamaan seperti gereja atau penghulu untuk melangsungkan pernikahan secara sah menurut Agama dan Negara.


    Untuk itu dalam hukum adat Manggarai sedikitnya terdapat empat jenis perkawinan yang dianut yakni perkawinan Tungku, perkawinan cako, perkawinan cangkang, dan perkawinan Lili.


    Perkawinan Tungku

    Secara adat perkawinan Tungku merupakan jenis perkawinan yang memperbolehkan pernikahan antara sesama saudara yang masih berada dalam satu garis keturunan.


    Jenis perkawinan ini memperbolehkan anak laki-laki dari saudari perempuan menikah dengan anak perempuan dari saudara laki laki.


    Jenis perkawinan ini lebih dikenal dengan istila tungku cu.


    Sementara jika anak laki-laki dari saudari perempuan menikah dengan anak perempuan dari saudara sepupu laki-lakinya maka perkawinan ini disebut dengan istilah tungku neteng Nara.


    Gereja Katolik melarang perkawinan jenis tungku cu lantaran masih dalam satu garis keturunan yang berakibat pada timbulnya penyakit genetika pada keturunan kedua mempelai.


    Maka dari itu gereja memberlakukan aturan Turuk Empo sebelum masuk pada tahapan pernikahan di gereja.


    Nah bagi pasangan yang masih ngotot melangsungkan praktik perkawinan Tungku cu akan dikenakan denda dari pihak gereja.


    Perkawinan Cako

    Jenis perkawinan ini memperbolehkan anak laki-laki menikah dengan anak perempuan yang masih berada dalam klen atau wa'u yang sama.


    Jenis perkawinan ini juga memperbolehkan anak laki-laki dari saudari perempuan menikah dengan anak perempuan dari saudarinya yang berstatus Kakak.


    Hal ini selaras dengan hukum adat Manggarai dimana perempuan yang berstatus Kakak beradik akan berubah menjadi anak Wina dan anak rona untuk kondisi tertentu.


    Dimana saudari perempuan yang berstatus Kakak akan menjadi anak rona sementara adiknya akan menjadi anak Wina.


    Kondisi tertentu yang dimaksud adalah jika dalam keluarga itu tidak memiliki saudara laki-laki atau Nara.


    Perkawinan Cangkang

    Jenis perkawinan ini memperbolehkan laki-laki atau perempuan menikah dengan orang lain yang berasal dari garis keturunan yang berbeda (Dion wa'u).


    Perkawinan ini merupakan jenis perkawinan yang lazim kita kenal.


    Gereja Katolik pun mendambakan jenis perkawinan ini.


    Lantaran tidak memiliki hubungan darah antara kedua mempelai.


    Perkawinan Lili

    Jenis perkawinan ini memperbolehkan saudara laki-laki mengambil isteri dari saudaranya sendiri yang sudah meninggal.


    Perkawinan ini dilakukan demi mempertahankan garis keturunan atau wa'u.


    Namun seiring perkembangan zaman jenis perkawinan seperti ini mulai ditinggalkan.


    Karenanya perkawinan Lili hampir tak dipraktekkan hingga saat ini.


    Jurak dan Ancaman Nangki

    Nah pertanyaannya apa hukumannya jika kita menabrak hukum adat perkawinan yang sudah diwariskan itu?


    Untuk membahasnya kita kembali pada defenisi Nangki.


    Dalam budaya Manggarai kata Nangki merujuk pada sebuah kondisi yang dialami seseorang (berupa malapetaka) akibat kesalahan yang dilakukannya kepada sang pencipta (Jari agu dedek), kepada para leluhur (wura agu ceki), kepada alam (ata pale Sina) dan kepada sesama manusia.


    Nangki bisa berupa kutukan, bisa berupa sakit dan penyakit yang membawa pada kematian.


    Karena itu Nangki juga bisa diartikan sebagai dosa dalam ajaran agama moderen.


    Nangki juga bisa berupa hama dan penyakit pada tanaman yang ditanam oleh Manusia.


    Misalnya jika ada orang yang meninggal dan dikuburkan maka keesokan harinya semua orang dalam satu gendang dan Lingko itu tidak boleh beraktifitas di kebun atau di sawah.


    Larangan ini diberlakukan untuk menghormati almarhum yang telah berpulang. Hari dimana semua orang membatasi diri untuk beraktifitas di kebun itu disebut dengan istilah leso irong (Ireng).


    Jika irong ini dilanggar maka diyakini semua tanaman (Poong) yang dirawat akan dimakan hama dan panennya tidak akan maksimal, hal ini diyakini sebagai Nangki.


    Dalam kaitannya dengan perkawinan jika menabrak hukum adat, maka ada Nangki yang siap ditanggung baik oleh kedua mempelai maupun kedua keluarga besar.


    Nangki ini sifatnya tidak langsung namun butuh waktu dan proses.


    Misalnya saja akan mengalami sakit dan menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan.


    Atau bisa juga melahirkan keturunan yang cacat dan diyakini sebagai upah dari kesalahan yang telah diperbuat (Nangki).


    Apabilah jurak itu dilakukan maka kedua mempelai harus menjalani upacara khusus yang memisahkan kedua mempelai.


    Upacara ini berisi hal-hal yang telah dipraktekkan secara salah untuk diperbaharui kembali.


    Sehingga kedua pasangan kembali berstatus saudara dan saudari sepupu (Weta laing Nara Laing).


    Namun apabilah keduanya bersikeras tetap melanjutkan hubungan, maka harus dilakukan pemutusan hubungan keluarga bagi keduanya (keti le manuk miteng).


    Upacara keti itu menjadi hukuman terberat yang dijalani kedua mempelai dengan catatan mereka dibuang dari keluarga dengan segala konsekuensinya yakni tidak mendapatkan harta warisan dalam keluarga.


    Dari aspek klen atau wa'u mereka berdua juga tidak dianggap sebagai bagian dari wa'u keluarga besar.


    Ini menjadi hukum adat yang paling keras apabilah melanggar hukum adat perkawinan di Manggarai.


    Karenanya jurak merupakan perkawinan yang dihindari dalam budaya Manggarai.


    Praktik penerapan hukum adat inipun masih dilakukan hingga saat ini.


    Karenanya Jurak merupakan bentuk perkawinan yang tidak wajar dan harus dihindari.



    Penulis merupakan pemerhati budaya


    Baca Juga Tulisan Serupa dari Antonius Rahu

    Dari Drama Percintaan Econ Acin, Kita Belajar Beretika di Ruang Publik


    Sistem perkawinan Lili, Mempersunting Janda demi eksistensi wa'u dalam budaya Manggarai


    Setelah Menikah, Pria Manggarai Diwajibkan untuk Wale Sida dari anak rona


    Mau Nikahi Molas Manggarai? Cinta saja tidak cukup

    Komentar

    Tampilkan