- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Pendekatan Budaya Lokal Jadi Kunci Suksesnya Penyebaran Agama Katolik di Manggarai

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    05 Juni, 2025, 20:12 WIB Last Updated 2025-06-05T13:49:55Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Pendekatan Budaya Lokal Jadi Kunci Suksesnya Penyebaran Agama Katolik di Manggarai
    Compang yang ditambahi Salib jadi salah satu bukti ajaran Katolik mengakar dalam budaya Manggarai 

    Penyebaran agama katolik di Manggarai dianggap yang paling masif di pulau Flores setelah menggunakan budaya lokal dan tokoh lokal setempat yang dianggap mudah dipahami dan diterima masyarakat lokal, hingga kini keuskupan Ruteng jadi keuskupan dengan populasi umat katolik terbesar di Indonesia.

    [Congkasae.com/Sosial Budaya] Dibalik lonceng yang berdentang dari menara gereja yang tinggi di pulau Flores Bagian Barat khususnya Manggarai tersimpan sejarah perjuangan para misionaris Eropa dalam menyebarkan ajaran Katolik di Manggarai.


    Pada tahun 1910 hingga 1911 misionaris Jesuit mulai mendatangi wilayah barat pulau Flores yang kala itu masih dijajah bangsa portugis.


    Kedatangan misionaris Jesuit yang mayoritas berkebangsaan Eropa ini menjadi awal dari cerita panjang penyebaran agama Katolik di tanah Manggarai.


    Tepat pada 17 Mei 1912 Pater Henrikus Looijmans, S.J. membaptis 5 orang penduduk lokal setempat untuk pertama kalinya di wilayah Reo.


    Beberapa orang yang dipatis kala itu adalah Katarina Arbero, Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe.


    Kelima orang tersebut sebelumnya tak menganut kepercayaan sama seperti kebanyakan warga Manggarai lainnya.


    Kendati demikian mereka meyakini adanya Tuhan sebagai sang pencipta hal tersebut terlihat melalui ucapan Jari agu dedek dalam budaya Manggarai.


    Sayangnya keberadaan misionaris Jesuit di tanah Manggarai tak begitu lama, setelah pada tahun 1914 pemimpin tertinggi Jesuit menyerahkan wilayah Manggarai ke ordo Serikat Sabda Allah (SVD) yang berkonsentrasi di Ende.


    Hal tersebut langsung ditanggapi ordo Serikat Sabda Allah yang langsung mengutus pater Piet Noyen SVD ke Manggarai untuk melayani umat di Manggarai.


    Pada tanggal 23 September 1920 ordo Serikat Sabda Allah mendirikan gedung misionaris pertama di wilayah Manggarai.


    Sembari melakukan pembabtisan secara besar-besaran terhadap orang lokal Manggarai yang tak memiliki agama.


    "Hingga 1925 jumlah orang Manggarai yang telah dibaptis mencapai 7.036 orang dari jumlah semula sebanyak 5 orang," menurut laman St eduardus watu Nggong dalam tulisannya berjudul Sekilas tentang Masuknya Agama Katolik di Manggarai dan Geliat Perkembangannya.


    Begitu banyaknya populasi orang Manggarai yang dibaptis secara Katolik mendesak misionaris SVD untuk segera mendirikan paroki yang menjadi pusat pelayanan umat Katolik di wilayah pulau Flores bagian barat.


    "Pada tahun 1925 berdirilah dua paroki pertama di wilayah Manggarai yakni Paroki Lengko Ajang dan paroki Rekas,"tulisnya.



    Dua paroki ini merupakan paroki pertama yang berada di Manggarai Raya, banyaknya warga lokal yang dibaptis secara Katolik terjadi lantaran usaha para misionaris SVD yang menggunakan strategi budaya lokal setempat dalam menyebarkan misi ajarannya di Manggarai.


    Hal tersebut dibuktikan dengan misi penyebaran yang menggunakan go'et Manggarai "kontas bokak, Serani nai " dalam penyebarannya dan kerap digunakan hingga saat ini di Manggarai.


    Selain menyusup melalui budaya dan bahasa lokal setempat para misionaris kerap menggunakan orang lokal setempat dalam misi penyebaran agama Katolik.


    Penyebaran melalui warga lokal setempat inilah yang mempercepat penyebaran agama Katolik di tanah nucalale melalui istilah "cebong wae serani" yang merupakan sebutan untuk proses pembabtisan.


    Maka populasi orang Manggarai yang memeluk keyakinan Katolik kian hari kian bertambah banyak dan menjadi daerah dengan penyebaran agama katolik tercepat di Pulau Flores.


    Melihat pesatnya pertumbuhan pemeluk agama Katolik tersebut pemimpin misionaris SVD memerintahkan para misionaris di wilayah Manggarai untuk mendirikan gereja terbesar pertama di Ruteng yang selanjutnya digunakan sebagai gereja Katedral.


    Pada tahun 1929-1931 berdirilah gereja yang diarsiteki oleh misionaris Eropa yang merupakan cikal bakal lahirnya gereja katedral Ruteng.


    Pesatnya pertumbuhan umat Katolik di Manggarai juga mendorong vatikan untuk menaikkan status Manggarai menjadi Vikariat Apostolik.


    Maka pada tahun 1951 takhta suci Vatikan menaikkan status Manggarai menjadi Vikariat Apostolik dengan menunjuk Mgr Wilhelmus Vann Bekkum SVD sebagai pemimpin pertama.


    Status Vikariat Apostolik itu kembali ditingkatkan menjadi keuskupan Ruteng pada tahun 1961 yang menjadi pusat penyebaran agama Katolik di Manggarai.


    Pendekatan budaya dan bahasa lokal ibu menjadi kunci sukses penyebaran agama Katolik di Manggarai, hal itulah yang mendorong uskup Ruteng Pertama Mgr Wilhelmus Vann Bekkum SVD yang berkebangsaan Belanda bersih kukuh dalam memperjuangkan inkulturasi budaya lokal dalam gereja Katolik pada proses konsili Vatikan II di Roma.


    "Mgr Van Bekkum yang telah melihat kesuksesan penyebaran agama Katolik di Manggarai menggunakan pendekatan budaya dan bahasa lokal menjadi salah satu tokoh yang ikut memperjuangkan proses lahirnya inkulturasi budaya dalam ajaran Katolik  yang kita kenal hingga saat ini,"tulis Bonefasius Jehandut dalam bukunya Mgr Vann Bekkum dan Dere Serani.


    Meskipun banyak tokoh internal gereja katolik yang beraliran konservatif menentang pemikiran tersebut akan tetapi pada akhirnya hasil konsili Vatikan II meloloskan wacana memasukkan etnisitas budaya lokal setempat kedalam ritus gereja Katolik yang kita kenal dengan sebutan Inkulturasi budaya hingga saat ini.


    Terkait dengan hal ini budayawan asli Manggarai Timur yang merupakan misionaris SVD yang bertugas di Jerman P. Dr. Vinsensius Adi Gunawan Meka SVD mengatakan sepulang dari kegiatan Konsili Vatikan II di Roma Mgr Van Bekkum menggagas misa inkulturasi Manggarai pertama yang ia sebut Misa Kaba.


    "Misa kaba itu merupakan bentuk pengejahwantahan budaya Manggarai kedalam ritus gereja Katolik, dan itu diterima secara luas oleh orang Manggarai kala itu, karena orang Manggarai menjadi dekat dengan Tuhan sebagai sang pencipta karena berbicara dengan bahasa Manggarai, bahasa yang mereka gunakan sehari-hari,"kata Pater Vinsensius ketika diwawancarai Antonius Rahu di kediamannya di Manggarai Timur.


    Ia mengatakan belakangan misa kaba itu diganti dengan sebutan misa Adak, Ia mengatakan, dalam Misa Adak yang digagas oleh Mgr Van Bekkum itu semua umat mengenakan pakaian adat, selain itu doa umat diganti dengan torok raja lima yang dilakukan oleh tua adat di hadapan altar.


    "Alat musik yang dimainkan juga berupa alat musik Manggarai seperti Gong dan Gendang yang memiliki nilai sakral yang tinggi,"ujarnya.


    Hal ini pulah yang menyebabkan semakin maraknya penyebaran ajaran Katolik di wilayah Manggarai.


    Masifnya penyebaran agama Katolik di Manggarai juga sampai ke wilayah kedaluan Manus di Manggarai Timur.


    Di wilayah ini mayoritas penduduk asli berbondong-bondong dibaptis secara Katolik melalui sebuah istilah "sebong wae serani" di Mukun Manggarai Timur.


    Konsekuensi dari sebong wae serani ini berdampak pada perceraian pasangan suami isteri yang lazim dipraktikkan oleh orang Manggarai kala itu yakni praktik Poligami.


    Hal tersebut juga dialami oleh sepasang suami isteri dari Leda mereka adalah mekas Nakung dengan Lopo Jaung yang terikat perkawinan poligami dimana mekas Nakung memiliki isteri pertama bernama lopo Ndeghong dan isteri muda bernama lopo Ja'ung.


    "Ja'ung ini merupakan nama yang diberikan oleh ayahnya yang bernama mekas Zula dari keturunan suku Rangga, dia dinikahkan secara tungku dengan mekas Nakung,"kata Dorotea Dai yang merupakan putri kandung lopo Ja'ung.


    Ia mengatakan usai mengikuti kegiatan sebong wae serani di Mukun, keduanya dipisahkan oleh gereja lantaran dianggap menentang dengan ajaran gereja Katolik yang menganut paham monogami.


    "Mereka diceraikan di hadapan umum di Mukun setelah mengikuti sebong wae serani, nama Ja'ung juga diganti menjadi Rosalia Ja'ung dan nama Nakung diganti menjadi Paulus Nakung, sementara nama istri pertama mekas Paulus Nakung diganti dari Ndeghong menjadi Veronika Ndeghong,"kata Dorotea Dai.


    Ia mengatakan perubahan nama kala itu menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat yang menandakan seseorang telah "serani nai, kontas bokak" alias mengikuti ajaran Katolik.


    Meski demikian perpisahan tersebut tak mendapatkan reaksi dari kedua mempelai meski telah memiliki keturunan seperti yang terjadi antara mekas Paulus Nakung dan Lopo Rosalia Ja'ung.


    "Padahal perkawinan mereka itu sudah menghasilkan dua orang anak yakni Genoveva Ndao dan Ndizung,"kata Dorotea Dai.


    Kendati demikian proses perpisahan keduanya tak dipersoalkan lantaran gereja menyerahkan persoalan sengketa harta dan ahli waris melalui jalur adat Manggarai yang sudah lazim berlaku dalam tatanan masyarakat.


    Bukti yang menguatkan penyebaran agama katolik melalui etnisitas dan budaya lokal Manggarai juga diperkuat dengan beberapa peninggalan yang masih kita lihat hingga saat ini yakni berupa compang atau mesbah yang ditambahi ornamen berupa salib.


    Compang berisi salib ini lahir setelah ajaran Katolik masuk ke tanah Manggarai, bentuk compang yang asli hanya berisi batu berundak yang berada di tengah kampung.


    Ini menjadi bukti bahwa Katolik diterima dengan baik di tanah congka sae yang kita kenal hingga hari ini.


    Hal inilah yang mendorong masifnya penyebaran ajaran Katolik di Manggarai dimana perkembangannya kian masif hingga saat ini Keuskupan Ruteng menjadi keuskupan dengan populasi umat Katolik terbanyak di Indonesia.


    Akan tetapi dibalik peringkat populasi umat terbesar di Indonesia itu ada peluh misionaris Eropa yakni Jesuit dan Serikat Sabda Allah yang dibayar.


    Laporan ini ditulis oleh Antonius Rahu

    Baca juga laporan serupa dari Antonius Rahu dalam pranala berikut ini

    Dere Serani dan Spirit Misa Inkulturasi Manggarai Memudar, Apa yang Harus Dilakukan?


    Riwayat hidup Wilhelmus Van Bekkum SVD uskup Ruteng pertama


    Ini Nama-Nama Uskup yang Pernah Pimpin Keuskupan Ruteng

    Komentar

    Tampilkan

    Bersama Menjaga Warisan Kita

    Dukung Congkasae agar terus hidup dan tumbuh sebagai suara budaya Manggarai.

    Kenapa Kami Butuh Dukungan?

    Congkasae.com hidup dari semangat dan cinta pada budaya. Tapi kami juga perlu dana untuk membayar penulis lokal, mengembangkan situs, dan mendokumentasikan cerita-cerita budaya kita.

    Donasi Sekali atau Rutin

    Atau transfer langsung:

    • BRI 472001001453537 (a.n. Congkasae)
    QRIS

    Pasang Iklan atau Kerja Sama

    Kami membuka kerja sama dengan UMKM, NGO, sekolah, atau pemerintah daerah untuk iklan, pelatihan, dan proyek kolaboratif.

    Kontak Kami Langsung

    Kata Mereka

    "Saya senang bisa mendukung media yang memperjuangkan akar budaya Manggarai." – Julius, diaspora di Jakarta
    "Congkasae adalah media yang dekat dengan hati kami di Manggarai." – Frans, guru di Ruteng