Bagi orang-orang Suku Loce wilayah Reok anjing bukan hanya sekedar hewan peliharaan akan tetapi lebih dipandang sebagai sosok penyelamat yang telah berjasa bagi keberlangsungan hidup mereka di masa lalu, karenanya larangan untuk mengonsumsi daging anjing terpatri dalam jiwa dan diwariskan secara turun temurun lintas generasi.
Oleh : Aventus Purnama Dep
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Suku Loce yang berada di Desa Loce, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, merupakan salah satu komunitas adat yang memiliki kekayaan budaya yang unik dan berakar kuat pada sejarah leluhur.
Salah satu tradisi yang paling menonjol dan membedakan mereka dari kelompok lain adalah pantangan memakan daging anjing.
Bagi masyarakat Loce, larangan ini bukan sekadar aturan tentang makanan, tetapi merupakan bagian dari identitas budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Pantangan ini menyimpan makna mendalam yang berkaitan dengan sejarah, spiritualitas, dan nilai moral yang terus hidup hingga saat ini.
Sejarah pantangan ini berawal dari kisah leluhur mereka, Empo Endok (Jelled), sebagai tokoh penting dalam pembentukan Suku Loce.
Dalam legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi, Empo Jelled mengalami peristiwa tragis ketika dikhianati oleh Kimpur Tilu, penguasa wilayah sebelumnya yang semula dianggap sebagai sekutu.
Dalam sebuah perburuan, Jelled dijebak dan dikurung di dalam gua bersama anjing-anjing yang selalu menemaninya.
Konflik ini bermula ketika Empo Jelet meminta tanah kepada Empo Kimpur Tilu. Permintaannya dikabulkan, namun dengan syarat yang tampak sangat sedikit, tanah hanya selebar selembar tikar (ca Loce).
Meski merasa terhina karena tanah seluas itu seperti hanya cukup untuk kuburan, Empo Jelet tetap sabar dan berterima kasih.
Di sinilah kecerdikannya, ia memberi seekor kerbau jantan kepada Empo Kimpur Tilu sebagai ucapan terima kasih, dengan syarat kulit kerbau itu dikembalikan kepadanya.
Setelah disetujui, Empo Jelet mengiris kulit kerbau menjadi tali panjang, lalu menggunakannya untuk mengklaim wilayah yang jauh lebih luas daripada yang dimaksudkan, dengan dalih bahwa dia hanya diberi batas "lebar" selembar tikar, namun "panjang" batasnya bisa diukur dengan talinya.
Dengan kulit kerbau yang diiris menjadi tali panjang, Empo Jelet menggunakan kayu teno sebagai pusat (lodok) di atas tanah pemberian itu.
Berbekal pengetahuan navigasi, ia mengikat tali ke lodok dan menariknya ke delapan arah mata angin (timur, barat, utara, selatan, dan empat arah antaranya), menancapkan kayu penanda di setiap ujungnya.
Dengan demikian, ia berhasil membentuk sebuah lingko (ladang) bersudut delapan yang jauh lebih luas dari tanah awal yang hanya selebar tikar.
Dengan telah terbentuknya lingko, Empo Jelet menyatakan tanah itu adalah miliknya. Transformasi dari Ca Loce menjadi Ca Lingko pun resmi terjadi.
Nama "Loce" kemudian dilekatkan pada tanah itu oleh Empo Jelet dan garis keturunannya. Akan tetapi, kecerdikan yang ia lakukan justru memicu konflik berkepanjangan dengan Empo Kimpur Tilu.
Empo Kimpur Tilu akhirnya mengetahui bahwa tanah selembar tikar pemberiannya telah berubah menjadi lingko dan ditinggali keluarga Empo Jelet. Dalam hati ia bergumam, "Licik sekali Jelet itu."
Empo Kimpur Tilu menyadari kecerdikan, keberanian, dan kesaktian Empo Jelet dalam berperang, sehingga ia tak berani menyerang langsung.
Ia pun memilih berpura-pura bersahabat dengan saling mengunjungi, demi menjaga kedamaian dan menghindari konflik terbuka.
Tidak berhenti di situ, akal licik Empo Kimpur Tilu untuk menjebak Empo Jelet terus berlanjut. Ia mengajak Empo Jelet berburu landak di Liang Petus.
Sesampainya di mulut gua, Empo Kimpur Tilu menyuruh Empo Jelet masuk terlebih dahulu bersama anjing-anjingnya. Dengan penuh kepercayaan, Empo Jelet pun melangkah masuk.
Namun, setelah Empo Jelet cukup jauh masuk ke dalam gua, Empo Kimpur Tilu sama sekali tidak mengikutinya.
Sebaliknya, ia justru menutup rapat-rapat mulut gua dengan batu-batu besar, hanya menyisakan sebuah lubang kecil selebar batang tombak. Dari lubang itulah ia siap menikam Empo Jelet.
Landak-landak buruan telah banyak terkumpul, dan kecurigaan Empo Jelet mulai muncul. Ia membayangkan kemungkinan buruk, jangan-jangan temannya itu telah berniat jahat dengan menutup mulut gua.
Kekhawatirannya terbukti ketika ia tiba di pintu keluar dan melihat mulut gua telah tersumbat rapat oleh batu-batu besar dan kecil.
Saat Empo Jelet berteriak memanggil, yang muncul adalah tusukan tombak dari celah gua. Dengan sigap, ia menyodorkan landak sebagai tameng.
Tombak itu berulang kali menghujam landak hingga akhirnya ditarik keluar. Melihat darah di tombak, Empo Kimpur Tilu yakin Empo Jelet sudah tewas.
Puas karena dendamnya terbalaskan, ia pun pulang ke Cuang, dan dengan percaya diri bahwa tanah keluarga Empo Jelet akan kembali menjadi haknya.
Setelah terperangkap delapan hari di dalam gua dan hanya bertahan dengan memakan daging landak, Empo Jelet akhirnya mengucapkan sebuah sumpah kepada anjing-anjingnya.
Ia berjanji bahwa dirinya beserta seluruh keturunannya akan menganggap anjing sebagai saudara dan hewan kesayangan, serta tidak akan menyakiti, membunuh, atau memakan daging mereka, asalkan anjing-anjing itu mau menolongnya keluar dari gua.
Anjing-anjing itu pun mengerti. Kelima ekor anjing tersebut kemudian mulai menggaruk tanah di sela-sela batu besar dengan penuh semangat.
Usaha mereka tidak sia-sia, karena dari celah yang mereka buat, cahaya pun mulai masuk. Akhirnya Empo Jelled dan anjing-anjingnya berhasil keluar dari gua itu.
Peristiwa ini meninggalkan jejak sejarah yang hingga kini masih dapat dilihat pada situs-situs budaya seperti Watu Empo, tempat di mana peristiwa penyelamatan itu terjadi, dan Wae Petus, lokasi di mana Empo Endok dimandikan oleh istrinya setelah keluar dari gua.
Kedua tempat ini bukan hanya situs fisik, tetapi juga simbol spiritual yang memperkuat nilai pantangan dalam kehidupan masyarakat Loce.
Pantangan memakan daging anjing kemudian berkembang menjadi aturan adat yang memiliki dimensi sosial dan spiritual.
Dalam perspektif budaya, pantangan ini berfungsi sebagai pembeda identitas Suku Loce dari suku-suku lain di sekitar mereka.
Melalui larangan ini, masyarakat Loce menegaskan asal-usul dan sejarah mereka, serta memperkuat rasa kebersamaan antaranggota komunitas.
Ketika seseorang mematuhi pantangan ini, ia bukan hanya menaati aturan leluhur, tetapi juga menyatakan kesetiaannya kepada identitas dan nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang.
Selain itu, pantangan ini juga memiliki makna simbolik yang lebih luas. Anjing dalam konteks ini dipandang bukan hanya sebagai hewan peliharaan, tetapi sebagai simbol kesetiaan dan pengorbanan.
Dengan tidak memakan daging anjing, masyarakat Loce memelihara hubungan spiritual yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Hal ini menunjukkan bagaimana cerita dan legenda dapat membentuk praktik budaya yang nyata dan bertahan selama berabad-abad.
Dalam konteks modern, pantangan ini memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari pariwisata budaya dan sejarah.
Wisatawan yang datang ke wilayah Loce dapat belajar tentang makna pantangan ini melalui kunjungan ke situs-situs bersejarah seperti Watu Empo, Wae Petus, rumah adat, dan compang, yang merupakan pusat ritual adat.
Selain itu, kekayaan budaya lainnya seperti kain tenun khas Loce, upacara adat Penti, dan lagu-lagu tradisional dapat menjadi daya tarik yang memperkuat posisi Suku Loce dalam peta pariwisata berbasis budaya di Nusa Tenggara Timur.
Namun, pengembangan pariwisata ini harus dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai lokal agar warisan budaya tidak hanya dijadikan komoditas, tetapi juga tetap terjaga keasliannya.
Pantangan memakan daging anjing juga memiliki relevansi dalam pelestarian nilai-nilai universal. Nilai kesetiaan, rasa hormat, dan penghargaan terhadap kehidupan yang terkandung di dalamnya dapat menjadi refleksi bagi masyarakat modern yang sering kali terjebak dalam arus globalisasi.
Dalam situasi di mana banyak tradisi terancam punah, pantangan ini menjadi contoh bagaimana sebuah komunitas dapat mempertahankan identitasnya dengan teguh melalui praktik budaya yang konsisten.
Dengan demikian, pantangan memakan daging anjing bagi Suku Loce bukanlah sekadar larangan tentang konsumsi makanan, tetapi merupakan manifestasi dari sejarah, spiritualitas, dan jati diri.
Pantangan ini mencerminkan hubungan mendalam antara manusia, hewan, dan lingkungan yang terikat dalam narasi leluhur.
Melalui pelestarian tradisi ini, Suku Loce tidak hanya menjaga warisan masa lalu, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi mendatang untuk menghargai nilai-nilai budaya yang membentuk identitas mereka.




%20(1)%20(1).webp)


